Laman

Kamis, 06 Januari 2011

Pewaris Budaya Bugis Kuno, Bukan Komoditi Pariwisata


Pewaris Budaya Bugis Kuno, Bukan Komoditi Pariwisata
(28 Jun 2007, 93 x , Komentar)
* Diskusi "Kesenian pada Komunitas Bissu"

Komunitas Bissu perlahan mulai berkurang. Komunitas penjaga warisan budaya Bugis kuno yang masih tersisa pada abad ini, dianggap melanggar peraturan daerah (Perda) Syariat Islam. Bukankah komunitas ini sangat berperan dalam pengembangan usaha pertanian dan berfungsi sebagai sandro (dukun) di kampung? HAPSA MARALA

Keunikan dan keistimewaan yang dimiliki para Bissu, mungkin saja masih menjadi misteri dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Sehingga, tak mudah dipahami secara konkret oleh masyarakat umum. Meski begitu, Bissu adalah sebuah fenomena menarik dari sejarah peradaban Bugis kuno, dari dekade ke dekade.

Soal Bissu yang mulai terpinggirkan masyarakat umum ini, didiskusikan Selasa 26 Juni, di Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar (Benteng Fort Rotterdam). Menariknya, penelitian kehidupan Bissu oleh pusat penelitian dan pengembangan kebudayaan Jakarta, melibatkan multi stake holder. Selain Antropolog Dr Halilintar Latif, juga wakil ketua DPRD Pangkep, Abubakar Shafa, para peneliti Jakarta, akademisi dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
Peneliti Nur Ning Suarni Cs, membeberkan banyak masalah yang mendera kehidupan para Bissu. Mereka mengambil sampel, realitas Bissu yang tinggal di Segeri, kabupaten Pangkep. Bissu, kata dia, cuma dianggap sebagai bagian dari komunitas kesenian tradisional, tidak dipandang dari segi pengembangan ilmu pengetahuan, yang membawa banyak manfaat.

"Bissu punya banyak keunikan. Pada setiap musim tanam, kelompok Bissu selalu jadi penentu yang baik, dibanding para pakar pertanian. Juga pada saat menangani orang yang sakit. Bissu berperan menjadi sandro (pengobat). Kita mengenal, mereka itu adalah orang yang kebal dan tak mempan dengan tusukan keris atau benda tajam lainya, di tubuh Bissu," papar Ning Suarni.

Ditambahkan peneliti lainnya, Nasruddin, Bissu atau calabai (Bugis: banci) dimaknai masyarakat Bugis-Makassar, sebagai sebuah kesenian. Ada dikenal upacara "Mappalili". Peristiwa itu adalah upacara sebelum memulai menanam padi. Puncak dari upacara disebut disebut "Ma'giri" atau menusuk tubuh dengan keris.

"Bissu sendiri memahami, pembawaan mereka yang terkesan "sakti" itu, adalah keajaiban yang diturunkan dewata. Makanya, mereka harus suci dan tidak kawin. Semua mereka adalah kaum waria, dalam artian mereka itu menjaga kesuciannya," urai Nasruddin.

Saat ini, jumlah Bissu tinggal sedikit. Di Segeri, komunitas ini hanya tersisa tujuh orang. Oleh bupati setempat, mereka disediakan rumah khusus sebagai tempat upacara atau ritual dewata, puang matoa. Banyak Bissu yang telah wafat. "Kami optimis, karena generasi Bissu di Pangkep, Soppeng dan Bone, masih sangat banyak. Bissu, bisa ditransformasikan pada orang umum," tanggapnya.

Diskusi yang dihadiri DR Halilintar kemarin, mengatakan, ancaman untuk keberlanjutan Bissu, salah satunya karena dinilai bertentangan dengan Perda Syariat Islam. Mereka dianggap musyrik, kerena memuja dewata, dan tidak menikah. Ada kemiripan penerjemahan dengan Biksu dalam terminologi (istilah) Buddha. "Pada dasarnya, mereka itu adalah muslim, dan melaksanakan salat lima waktu. Hanya saja, upacaranya saja yang kelihatan seperti musyrik. Bissu datang, jauh sebelum kedatangan Islam di Sulsel," tandas Halilintar.
Bissu juga, sambungnya, bisa bertahan, karena kemampuannya "mengakali" zaman, dan setiap upacara Bissu dianggap prestise oleh masyarakat kultur.

Contoh kehidupan Bissu di Pangkep, juga diceritakan wakil ketua DPRD Pangkep, Abubakar Shafa. Dia mengatakan, pemerintah tetap menghargai komunitas Bissu, sebagai kekayaan budaya Bugis. Buktinya, mereka dibangunkan sebuah rumah oleh Bupati Pangkep, Syafruddin Nur. Setiap ada upacara, mereka membuat kegiatan.

"Masyarakat di Pangkep, menjadikan Bissu sebagai patokan untuk bertani. Jika Bissu sudah turun ke sawah, maka yang lainnya juga mengikuti. Bacaan dan prediksi Bissu itu sangat kuat dan tidak melenceng. Makanya, produksi pertanian kami terus berkembang," kunci Abubakar. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar